Oleh :Asriadi, Ketua Bidang Agraria dan Kemaritiman Badko HMI Kaltim-Kaltara
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, wacana pemidahan Ibu Kota negara kembali di “roasting” oleh sejumlah pemegang kebijakan dan sudah seharusnya menjadi pemantik bagi sejumlah kalangan untuk membuka ruang diskusi publik. Hal ini tentu menjadi isu yang cukup menarik untuk di obrolin bagi semua kalangan baik itu kalangan akademisi, praktisi, tokoh masyarakat dan tentunya bagi kalangan milenial di wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Gencarnya hasrat pemindahan Ibu Kota Negara seolah tak terbendung, hal ini dibuktikan dengan sejumlah agenda penting dalam membahas hal wacana lama yang hingga saat ini belum dapat terealisasi. Kita semua sepakat bahwa wacana pemindahan ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan dari tanah Betawi ke tanah Borneo bukan merupakan hal yang tabuh.
Terhitung sejak kepemimpinan “Pelaku Mebel” nomor satu di Indonesia ini mulai kembali menguak sejak dua tahun silam. Tentunya wacana tersebut akan disambut oleh semua kalangan dengan pro dan kontra yang didasari pula argumentasi yang kuat dan perspektif yang kian berpariasi.
Wacana pemindahan pusat pemerintahan dari tanah Jakarta merupakan wacana yang cukup jadul. Sejarah mencatat sejak di era Hindia Belanda dari Batavia sebutan Jakarta pada saat itu ke sejumlah daerah lain yang pada masa itu di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818).
Tentunya pemindahan Ibu Kota Negara di bawah kepemimpinan si “Tangan Besi” itu tidak terlepas dari berbagai faktor diantaranya Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan (Sejarawan Universitas Indonesia Achmad Sunjyadi).
Sementara di era kepemimpinan Presiden Soekarno juga tidak terlepas dari upaya pemindahan pusat pemerintahan dari tanah Jakarta. Pada tahun 1950 tanah Borneo menjadi target utama yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur menjadi opsi yang di anggap layak sebagaimana yang tertuang dalam master plan yang di rancang olehnya. Palangkaraya di gadang-gadang menjadi Ibu Kota sejak si Kusno nama kecil Presiden Soekarno itu berkunjung ke Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam agenda meresmikan Kota Palangkaraya pada tahun 1957 yang di tandai dengan peletakan tiang pertama pembangunan dan persemian monument/tugu Ibu Kota Palangkaraya.
Beberapa uraian sejarah di atas menunjukkan jika potensi pemindahan Ibu Kota di Tanah Borneo cukup besar jika mengacu kepada master plan Presiden Soekarno. Disertai dengan beberapa pekan terakhir, presiden Joko Widodo berserta kabinetnya gencar melakukan kunjungan di beberapa daerah di wilayah Kalimantan. Terdapat dua daerah yang masuk bursa calon Ibu Kota Negara yakni Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur dan Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah.
Wacana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan juga merupakan angin segar bagi provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dan hal ini disambut baik oleh kalangan pemuda salah satunya Asriadi, Ketua Bidang Agraria dan Kemaritiman Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Kaltim-kaltara. Jika melihat letak goegrafis dan secara administasi, Provinsi Kaltim berbatasan langsung dengan provinsi yang di Nahkodai oleh Irianto Lambrie hal ini pastinya akan memberikan keuntungan dan diharapkan Kaltara mampu mengambil peran tersendiri dengan masuknya Kaltim di di bursa calon Ibu Kota pusat pemerintahan.
Seperti yang disampaikan oleh Gubernur Kaltara, Irianto Lambrie, ketika Kaltim menjadi ibukota negara, provinsi termuda di Indonesia ini kelak akan mengambil peran sebagai hinterland dari ibukota negara. Fungsinya, sebagai pemasok dan pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok, energi serta tempat produksi komoditi ekspor.
Tidak hanya kepada dukungan kepada PemProv Kaltara, dalam menyongsong pemindahan Ibu Kota Negara ke tanah suku Dayak tentunya peningkata kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu di persiapkan. Sehingga jika wacana berhasil di realisaskan maka sebagai pemuda Anak Kampung Sini (Akamsi) tidak tersingkirkan dan tergerus akibat persaingan.
Maka dari itu saya sebagai Aktivis HMI Badko Kalimantan Timur dan Utara turut mendukung langkah presiden Jokowi untuk memilih Kalimantan sebagai Ibu Kota baru.
Dan secara tidak langsung ini akan berdampak positif bagi beberapa wilayah di sekitaran kalimantan seperti sulawesi dan daerah lainnya. Mulai dari dampak ekonomi, jalur perdangangan dan beberapa kebijakan pembangunan infrastruktur.
Saatnya kita merespon dengan baik dan saya mengajak masyarakat maupun stakholder di wilayah kaltim-kaltara untuk mendukung langkah Pemerintah Pusat agar pemindahan Ibu kota ini bukan hanya sekedar wacana tetapi di realisasikan dengan cepat.
Leave a Reply