Dalil Gugatan BPN di MK Pernah Ditolak Bawaslu

Jakarta: Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno resmi mengajukan sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU) Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). BPN mendalilkan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada pemilu 2019.

Ketua Tim Hukum BPN Bambang Widjojanto (tengah) di Gedung Mahkamah Konstitusi.

Ketua tim Kuasa Hukum BPN, Bambang Widjodjanto mengakui pihaknya sudah pernah mengajukan gugatan serupa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) namun ditolak.

“Betul bahwa Bawaslu pernah menerima laporan berkaitan dengan dugaan TSM, tapi kemudian Bawaslu menolaknya,” kata Bambang di Gedung MK, Jakarta, Jumat, 24 Mei 2019.

BW, sapaanya, menyebut penolakan gugatan TSM di Bawaslu karena alasan prosedural. Bawaslu dinilai belum memeriksa substansi isi gugatanya.

Dia juga meluruskan bahwa Bawaslu bukan menolak gugatan TSM yang pernah diajukan BPN, melainkan tidak menerimanya. Menurut BW menolak dan tidak menerima merupakan dua hal yang berbeda.

BW juga mengaku khawatir Bawaslu tidak menangkap semangat laporan dugaan TSM yang diajukan BPN kala itu. Dia juga menduga Bawaslu tidak mampu mengungkap adanya kecurangan TSM dalam pemilu.

Dia mencontohkan ketika BPN menyampaikan bukti-bukti adanya masalah dalam sistem IT KPU, Bawaslu tak bisa mengungkapnya lantaran tidak memiliki tim IT sendiri.

“Itu sebabnya kami ingin menjelaskan kembali karena penolakan yang didasarkan pada belum diperiksanya materi yang diajukan, itu menyebabkan kerugian kami,” ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menolak laporan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Gugatan itu menyangkut dugaan pelanggaran administrasi pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

“Tidak ada satu pun bukti matang yang membuktikan adanya pelanggaran administratif pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” kata anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo dalam sidang putusan Bawaslu di Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin, 20 Mei 2019.

Bawaslu menilai bukti yang diberikan pelapor tidak sah. Pelapor hanya mencantumkan bukti berupa print out (cetakan) berita yang tidak bisa mewakili adanya kecurangan.

Bukti itu tidak memenuhi syarat minimal pencantuman bukti tuduhan untuk kategori calon presiden. Bukti yang diberikan pelapor dinyatakan tidak mewakili setengah keseluruhan provinsi di Indonesia.

“Bukti print out 73 berita online tidak bisa dijadikan bukti, harus disertai bukti lain seperti dokumen, surat maupun video nyata yang paling sedikit terjadi 50 persen jumlah provinsi di Indonesia,” ujar Ratna. (Red/MK/Medcom)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *