Bahaya Politik Kebohongan

Sebuah bus jatuh ke jurang. Keseluruhan penumpang berjumlah 10 orang dikabarkan tewas. Keesokan harinya, polisi datang, melakukan penyelidikan dengan mewawancara warga di sekitar tempat kejadian.

Polisi: Benarkah seluruh penumpang mati dan langsung dikubur beberapa saat setelah kecelakaan?

Saksi mata: Benar.

Polisi: Tak ada satu pun yang masih bisa bernapas dan bergerak? Saksi mata: Ada, satu orang. Tapi, tetap kami kubur.

Polisi: Kenapa? Siapa dia?

Saksi mata: Karena ketika hendak kami kubur, dia teriak ‘saya masih hidup!’. Tetapi pas melihat KTP-nya, tertera pekerjaan sebagai politikus. Kontan, kami tak percaya pengakuannya.

ILUSTRASI: Demonstran dari Aliansi Untuk Kejujuran membawa seruan untuk menghentikan kebohongan, di Bundaran HI, Jakarta,

Jakarta: Persis dalam anekdot yang cukup masyhur itu, naga-naganya dunia politik dan kebohongan tampak setali tiga uang, tak terpisahkan. Padahal, belum tentu. Di Indonesia, politik juga masih kuat dipercaya sebagai jalan strategis untuk menorehkan sebabak kebajikan dan perubahan.

Yang bisa diambil kesimpulan, tak ada asap jika nihil api yang sedang berkobar. Dalam arti, penganggapan seperti itu bukan tanpa sebab. Toh, kerap kali pula masyarakat menjumpai secara langsung praktik-praktik politik terlihat begitu bercampur dengan kebohongan, dan dilakukan oleh tak sedikit orang.

Kesan mesra antara politik dan kebohongan, tidak berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang mendorongnya hingga satu-dua politisi seakan wajib dan latah menggabungkannya. Antara lain, target menang dan ambisi meraih kekuasaan.

Politisi gagal

Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, kabar bohong berbalut isu politik dilaporkan paling banyak mengisi daftar berita hoaks yang beredar.

Tahun lalu saja, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, ada 135 buah atau 58,7% kabar hoaks yang tersebar. Sisanya, 7,39% bermuatan agama, 7,39% penipuan, 6,69% lalu lintas, dan 5,2% kesehatan.

Sampai-sampai Mafindo berkesimpulan, maraknya hoaks politik mengancam demokrasi. Jika dibiarkan, hal itu bisa memicu keributan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

“Hoaks terkait politik berdampak pada turunnya kredibilitas penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Kualitas pemilihan juga menurun dan merusak rasionalitas pemilih,” kata Presidium Mafindo Anita Wahid, Oktober lalu.

Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyebut merajainya berita bohong terkait politik disebabkan gagalnya pendidikan politik dan demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, kata Syamsudin, itu merupakan akumulasi dari tidak adanya pendidikan wawasan kebangsaan dan cinta Tanah Air.

“Kalau Pilpres didominasi dengan hoaks dan fitnah, ini bencana pemilu kita. Bagiamana hoaks itu bukan hanya tidak mendidik, tapi juga membodohi,” ungkap Syamsuddin di Jenggala Center, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Februari 2019.

Hoaks teranyar dilakukan oleh tiga ibu-ibu di Karawang, Jawa Barat. Mereka melakukan kampanye hitam terhadap pasangan calon Presiden Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Mereka mengatakan, bila Jokowi terpilih maka azan akan dilarang. Jokowi juga dituduhkan melegalkan pernikahan sesama jenis.

“Ketika seluruh pendidikan politik minim, kebangsaannya minim maka yang tumbuh adalah berita bohong. Contohnya seperti tiga emak-emak itu. Konyol kan?” kata Syamsudin.

Atau jangan-jangan, kegagalan pendidikan politik yang dimaksud tidak cuma terpusat pada masyarakat sebagai penerima, pengembang, sekaligus terkadang produsen informasi itu sendiri. Sebab, sering kali juga hasrat berbohong semacam itu tumbuh dan ditunjukkan oleh kalangan elite.

Dikemas masuk akal

Memang tepat apa yang pernah dikatakan teoretikus politik Jerman Hannah Arendt dalam The Crises of the Republic (1972). Dia bilang, kebohongan, bersumber dari imajinasi.

“Prosesnya, penyangkalan terhadap realitas alias kemampuan berbohong, dan kemungkinan mengubah fakta atau kepiawaian bertindak saling terkait satu dengan yang lain,” tulis Arendt.

Inilah yang terjadi dan bermula di tingkatan elite. Ambil misal, kasus yang menimpa eks anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Ratna Sarumpaet yang ditahan sejak Oktober 2018 lalu. Pada sidang kemarin, Ratna diganjar dua dakwaan ihwal penyebaran berita bohong atau hoaks.

Dakwaan pertama, Ratna dianggap melakukan perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat. Atas perbuatannya, ia dikenakan Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Dakwaan kedua, Ratna dianggap sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan golongan (SARA). Ia didakwa Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 a ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kejadian awalnya, Ratna mengabarkan kepada rekan-rekan sejawat bahwa ia telah menerima penganiayaan berbau politis. Faktanya, foto lebam yang ia sebar adalah efek operasi plastik yang baru saja ia jalani. Nahasnya, sudah terlalu banyak orang yang turut terpancing hingga menjelma kegaduhan yang mencemaskan.

Jika dihubungkan dengan teori Arendt, tak salah juga jika kebohongan sejenis yang dimotori Ratna bisa begitu cepat menarik perhatian khalayak ramai.

“Biasanya, jarang yang bertentangan dengan rasio karena kebohongan dibuat logis. Bahkan kebohongan lebih menggoda akal budi dari pada realitas,” tulis Arendt.

Arendt bilang, mereka yang melakukan kebohongan memiliki keuntungan karena mengetahui lebih dulu apa yang ingin didengar atau diharapkan publik. Jadi, versinya disiapkan dan disesuaikan dengan apa yang diinginkan publik.

Pendapat Arendt, sejalan pula dengan kesimpulan yang pernah dikatakan filsuf dan sosiolog Jerman Jürgen Habermas. Dia mengatakan, dunia politik yang melingkupi seluruh kehidupan sosial tak lain dan tak bukan adalah pertukaran komunikasi yang tujuannya adalah mencapai kesepakatan lewat jalan yang rasional.

Semua pihak, dalam elemen-elemen yang membentuk kehidupan sosial, pertama-tama harus yakin dan percaya bahwa konsensus itu sesuatu yang mungkin.

“Di sinilah uniknya pendekatan Habermas. Bagi dia, ketika orang berbicara, mereka secara tidak langsung sudah mengandaikan bahwa ada kemungkinan untuk mencapai pengertian bersama,” tulis Sindhunata dalam Berfilsafat di Tengah Zaman Merebak Teror, dimuat BASIS “Edisi 75 Tahun Jürgen Habermas”, edisi November-Desember 2004, Nomor 11-12, tahun 53.

Tapi, perlu juga menimbang lanjutan penjelasan Hebermas, bahwa pengertian bersama itu dapat diwujudkan melalui konsensus. Konsensus itulah yang menjadi tujuan dari semua bentuk komunikasi, baik dalam ruang privat maupun ruang publik dalam masyarakat.

Dengan demikian, politik sama sekali tidak dapat dipisahkan dari komunikasi politis dalam ruang publik yang deliberatif.

“Seperti dalam dunia kehidupan, dalam politik juga mestinya tak boleh terjadi kebohongan, manipulasi, yang pada akhirnya bisa menciptakan kesalahpahaman,” tulis Shindu, masih dalam jurnal yang sama.

Kini, oknum praktisi politik harus mengerti dan menghargai, bahwa setiap kebohongan yang mereka ciptakan tidak cuma berdampak bagi hancurnya kehidupan bangsa dan negara. Tetapi juga berimbas telak pada marwah politik, serta mempengaruhi tingkat kepercayaan publik kepada para politisi itu sendiri.

Jangan sampai seperti anekdot tadi, politisi sukar dipercaya omongannya meskipun tengah dihadapkan pada urusan hidup dan mati.

Sumber: www.medcom.id/oase/fokus/0kpzDo0N-bahaya-politik-kebohongan


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *