Warga dan Tokoh Adat Tolak Wacana Pusat Pemerintahan Baru KTT di Desa Seludau

TARAKAN, mediakaltara.com – Wacana pemerintah Kabupaten Tana Tidung mendirikan pusat pemerintahan di lokasi baru. Mendapat respon warga dan tokoh adat desa Seludau lantaran hak atas masyarakat terhadap pelepasan lahan itu dinilai belum diselesaikan oleh Pemerintan KTT.

Salah satu masyarakat desa Seludau, Natalius Jon mengatakan sudah setahun lebih pihaknya menempuh jalan manusiawi untuk permasalahan lahan ini. Namun sampai detik ini pihak pemerintah Kabupaten Tana Tidung tak kunjung ada solusi terbaik.

“Kita beberapa kali melakukan pertemuan tapi pengambil keputusan tidak pernah ada, jadi hanya menampung saja masukan kami saja,” ujarnya.

Jon mengungkapkan adapun dinas terkait diantaranya DPRD, tata pemerintah (Tapem) dan PUPR. Terdapat pula SK tentang persetujuan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pembangunan pusat pemerintahan atas nama Bupati Tana Tidung dengan luas 405 hektar. SK tersebut memiliki poin yang harus diselesaikan kepada masyarakat.

“Jadi kami punya dasar penolakan Perda nomor 16 tahun 2012, pada Pasal 35 ditentukan penetapan pemukiman dan kantor pemerintahan. Wilayah yang ditetapkan 16.000 hektar, itu sesuai dengan Perda. Kemudian tanpa ada kesepakatan dengan masyarakat pemerintah kabupaten Tana Tidung mengubah lokasi peruntukan pusat pemerintahan yang harusnya itu pusat pedesaan,” beber dia.

Jon melanjutkan bahwa lokasi yang ditetapkan untuk pusat pembangunan pemerintahan tersebut juga merupakan tanah masyarakat yang dikuasai sejak lama sebelum pemekaran kabupaten Tana Tidung. Hal ini dibuktikan dengan surat penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah desa setempat.

Tak hanya itu lokasi tersebut dinilai menjadi sumber penghidupan dan penggerak ekonomi bagi masyarakat seperti kebun sawit, tanaman kayu gaharu, kayu adau, sarang burung walet, warung, kandang ayam, kolam ikan dan usaha lainnya.

“Ada juga situs makam leluhur Dayak Belusu di area tersebut,” sebutnya.

Disinggung soal ganti rugi yang akan diberikan pemerintah, ia menyayangkan sikap bupati yang membangun komunikasi kepada pihak yang pro terhadap lahan ini.

“Yang diundang yang punya lahan itu mungkin tidak luas tidak mampu mengcover 405 hektar ini, tidak bisa kita mengambil hak lain yang tidak setuju,” ujarnya.

Terpisah, Ketua Adat Dayak Belusu Desa Seludau, Kaharudin mengatakan dirinya pernah mendengar cerita turun temurun dari keluarganya bahwa lokasi tersebutlah yang digunakan untuk membesarkan anak cucu hingga saat ini.

Ia mengaku tak pandai dalam hal pendidikan namun tetap memberanikan diri mengadu nasib di Jakarta untuk mendapatkan keadilan atas tanah yang sudah diwariskan leluhur itu.

“Hak Ulayat yang ada di desa tersebut, negara kita negara hukum saya sayang bupati dan wakil bupati, jangan sampai nanti apa yang dibuat bagus untuk sekarang ujungnya anak cucu kami yang kena imbasnya,” bebernya.

Ia melanjutkan, enggan meminta ganti rugi dalam bentuk uang. Menurutnya, uang tidak bisa menggantikan harkat dan martabat dari tanah leluhur itu.

“Pindah aja dari situ, luas kok KTT. Jangan ada yang tumpang tindih kasihan, kita sudah nanam dari bibit sudah mulai berbuah dibayar dengan harga tak standar. Apalagi hidup saya tua, apalagi harapan untuk anak saya nanti kalau pembangunan tetap dilanjutkan,” ujarnya.

Kahar mengaku enggan melawan pemerintah dalam hal ini bupati. Ia hanya meminta keadilan atas lahan miliknya itu.

“Ada makam juga makam leluhur umur saya sudah 63 mungkin sebelum itu. Intinya pusat pemerintahan tidak disitulah,” pungkasnya. (Mk90)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *