Jakarta – Perwakilan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari perwakilan Polri dan Jaksa tidak terlalu penting, Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan tak perlu ada perwakilan polisi maupun jaksa yang maju menjadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bivitiri menilai majunya perwakilan dari dua institusi tersebut hanya atas dasar cemburu.
“Desain unik untuk KPK yang banyak juga dikaji oleh lembaga lain. Penyidik mandiri KPK ini yang banyak dicemburui oleh institusi lain. Sebenarnya, tidak lagi relevan untuk mengatakan harus ada perwakilan dari polisi dan kejaksaan,” kata Bivitri di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu, 26 Juni 2019.
Dia mengatakan, KPK sudah memiliki desain khusus yang sifat kepemimpinannya kolektif kolegial atau putusan yang diambil secara bersama-sama. Untuk itulah KPK tak butuh lagi perwakilan dari institusi manapun.
Hal ini dikritisi Bivitri karena pansel seolah memberikan karpet merah untuk polisi dan kejaksaan. Akhirnya polisi dan jaksa maju secara institusi, bukan perorangan.
Lebih lanjut, bagi Bivitri polisi maupun kejaksaan belum tentu memiliki pemahaman tentang penyelesaian kasus korupsi. Pasalnya, kasus korupsi jauh lebih kompleks.
“Para pimpinan KPK harus memahami kompleksitas pemberantasan korupsi. Karena ini bukan kejahatan biasa. Jangan sampai KPK tidak mengerti soal apa-apa terkait korupsi. Karena nasib kasus itu akan diputuskan atau tidak, itu bergantung pada pimpinan,” ujarnya.
Selain itu, Bivitri masih mencium adanya benturan kepentingan. Dia khawatir majunya institusi polisi atau kejaksaan menuai komflik internal dalam KPK.
“Ini bukan soal gaji, tapi benturan kepentingan ketika dia jadi pimpinan KPK. Ada data banyak di pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terkait dengan institusi kepolisian. Jadi konflik kepentingannya berpotensi besar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Yenti Ganarsih meminta semua pihak tak menyimpulkan Pansel mengharuskan adanya unsur jaksa dan polisi di KPK. Namun, publik juga tak bisa memaksakan tak boleh ada unsur kedua penegak hukum di sana.
“Itu kita melanggar hukum nantinya. Kita sebaiknya berdemokrasi yang benar yang sesuai aturan yang ada, dan sesuai objektifitas dari hasil seleksi tersebut,” Kata Yenti, Rabu, 25 Juni 2019.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini pun mengkritisi bagaimana konfigurasi kepemimpinan KPK saat ini, di mana tak ada satu pun jaksa sebagai komisioner. Pasalnya, muncul anggapan dakwaaan KPK lemah.
Doktor bidang pencucian uang itu mempertanyakan apakah kondisi ini disebabkan tak ada unsur kejaksaan di KPK. Hal ini juga menjadi bagian evaluasi pihaknya. (red/MK/medcom)
Leave a Reply